Selasa, 25 Desember 2007

Al-Furqon Cisema

Ketika ku masih kecil, aku belajar ngaji di tajug (surau) yang tak jauh dari tempat tinggalku. Entah apa namanya surau tersebut waktu itu. Tapi berdasarkan kitab-kitab kuning milik kakakku, nama tajug tersebut adalah "Nurgaha". Nama tersebut diambil dari nama karuhun(nenek moyang guru ngaji kami) yang mengenalkan Islam dan mengembangkan Islam di kampung kami.
Setelah beberapa lama, nama Nurgaha ternyata tak dikenal oleh masyarakat, entah dengan nama apa orang-orang menamakan tajug tersebut. Yang jelas semua orang menyebutnya "tajug" tanpa nama tambahan selayaknya tajug lain di sekitar kami.
Tajug kami adalah tempat khusus anak-anak belajar mengaji. Tempat kami lumayan jauh terpisahkan dari Masjid Jami tempat bapak-bapak melaksanakan ibadah hariannya. Kami memang sengaja di pisah dari orang tua agar aktifitas kami yang memang selalu berisik tidak mengganggu kekhusu'an para orang tua kami.
Setelah sekian lama tajug tersebut berdiri, akhirnya sebagian sesepuh kampung termasuk kepala dusun punya keinginan untuk memugar tajug tersebut dan merehab kembali supaya lebih bagus.
Entah berapa lama tajug tersebut dipugar. Aku tidak terlalu banyak tahu. Jujur saja, aku memang jarang pergi ke tajug tersebut, sebab aku harus belajar ngaji terpisah dari kawan-kawanku bermain. Aku harus belajar mengaji di masjid jami dan langsung diajar oleh pamanku sendiri. Pendidikan keras, itulah yang masih aku ingat sampai saat ini. Kata teman-temanku, guru ngajinya galak, serem. Apalagi terhadap anaknya sendiri, wah galaknya minta ampun. Kalau sama aku si, gak terlalu lah. Soalnya aku adalah anak dari kakak kandung sendiri. Mungkin agak segan juga sama aku.
Hanya ada beberapa anak saja yang mengaji di masjid jami. Tidak banyak anak yang berani mengaji di sana. Selai n peraturan yang serba ketat, juga faktor kesenangan mereka untuk bermain membuat mereka tak mau mengaji di sana. Jujur saja, aku sebenarnya lebih senang mengaji di tajug, selain bisa bermain bebas, juga di sana banyak teman-temanku sepermainan.
Setelah selesai pemugaran, timbullah permasalahan akan nama tajug tersebut. Berbagai usulan dilontarkan. Akhirnya satu usulan diterima, dengan menamakan tajug tersebut "ALFURQON". Kenapa harus AL-Furqon? Sederhana saja jawabannya. Nama sesepuh dan guru ngaji waktu itu adalah Ajengan Kyai Haji Zaenal Furqon. Beliau memang bukan bukan penduduk asli kampung kami, tapi jasanya yang sangat besar membuat kami dan tokoh masyarakat merasa perlu mengabadikan namanya.
Bukan hanya itu, kabarnya sebentar lagi bakal ada sesorang kyai muda yang bakal membantu Ajengan Furqon mengajar anak-anak. Ajengan Edi Khumaedi namanya. beliau adalah santri dari Pondok Pesantren Miftahul Huda II Bayasari. Akhirnya nama tajug pun akan berubah menjadi pondok pesantren ALFURQON.
Dari sisi fasilitas memang tidak terlalu banyak yang dimiliki, namun ruang-ruang yang dibuat cukuplah mewakili agar tajug tersebut disebut Pondok pesantren. Ada beberapa kobong (kamar) yang tersedia untuk santri putera. dan beberapa kobong lagi akan dibuat untuk santri puteri.
Bagi siapa saja mau berkunjung ke sana, silahkan datang ke alamat Jl. Dadiharja Dusun Cisema RT 02 RW 23 Desa/Kecamatan Rancah Kabupaten Ciamis Jawa Barat Indonesia 46387.