Sabtu, 19 Januari 2008

Kisah Sukarnah

Kisah Sukarnah, Peraih Medali Asian Games

Nama Sukarnah kembali populer saat Menpora Adhyaksa Dault membagikan 44 rumah seharga Rp100 juta kepada atlet dan mantan atlet berprestasi. Mengapa Sukarnah berubah menjadi laki-laki dan berganti nama Iwan Setiawan?

Laporan Nanang Prianto, Ciamis

DUA foto Presiden RI pertama, Ir. Soekarno, tergantung di atas pintu sebuah rumah di Dusun Noong, Desa Sukahurip, Kecamata Cisaga, Kabupaten Ciamis.

Meski foto itu agak lusuh dimakan usia, ketampanan wajah Soekarno yang konon selalu memikat wanita itu seolah menjadi satu-satunya pemandangan menarik di rumah yang dindingnya sebagian batu bata dan anyaman bambu tersebut.

Beberapa bagian dinding rumah yang terbuat dari batu bata retak di sana-sini. Pun demikian bagian dinding yang terbuat dari anyaman bambu, banyak berlubang. Tidak ada barang berharga di rumah tersebut. Ada televisi hitam putih keluaran 1980-an, namun sudah tidak bisa lagi digunakan untuk menyaksikan sinetron yang kini kian marak.

Deretan kandang ayam dari bambu yang berada di sebelah timur rumah tampak reot. Kandang kira-kira mampu menampung 50-an ekor ayam. Namun, hanya satu yang betina hitam yang tersisa di salah satu sudutnya. Merebaknya flu burung membuat sang pemilik menjual ayam-ayamnya.

Adalah Iwan Setiawan (67) yang menghuni rumah tersebut. Di bangunan yang memiliki dua kamar tidur, ruang tamu, dan dapur tersebut, dia menghabiskan sisa hidupnya ditemani istri tercinta, Tuti Pudji Astuti, beserta putra dan menantunya.

Seperti halnya Soekarno yang selalu tampak gagah dalam bingkai foto di rumahnya, Iwan tidak pernah mengeluh dengan kehidupannya yang serba kekurangan. Padahal, dia adalah salah satu atlet terbaik yang dimiliki Indonesia.

Pada tahun 1958 dia berhasil meraih medali perunggu Asian Games III di Tokyo dari nomor lempar lembing dengan lemparan sejauh 45,3 meter. ’’Prestasi itu saya rebut ketika masih menjadi wanita dan bernama Sukarnah. Secara ajaib saya berubah menjadi laki-laki pada akhir 1980,” kenang Iwan.

Karnah, demikian nama lahir Iwan, merupakan sulung dari tujuh bersaudara pasangan Sukarta dengan Mury. Dia dilahirkan 1 Februari 1940 di daerah Rancah yang berdekatan dengan tempat tinggalnya saat ini.

Karnah beruntung karena orang tuanya petani yang cukup berada. Ketika usianya sembilan tahun, dia bersekolah di Sekolah Rakyat (SR) Pagambiran di Cisaga. Karnah menjadi ”orang langka” karena bisa melanjutkan ke SGB (Sekolah Guru B) II Ciamis. Saat itu sangat sedikit gadis kampung yang bisa melanjutkan sekolah setelah SR.

’’Saya termasuk gadis yang enerjik. Saya bisa hampir semua cabang olahraga, mulai bola keranjang, kasti, sampai pancalomba (atletik),” kisah Iwan.

Tidak sebatas hobi, dia pun mampu menjadi juara di kejuaraan tingkat Provinsi Jawa Barat (Jabar) pada tahun 1956 di Garut. Sukses itu membuatnya masuk skuad Jabar dalam PON IV 1957 di Makassar.

Letnan Evo, pejabat Pengda PASI Jabar kala itu, menarik Karnah untuk masuk pemusatan latihan daerah. Dia pun sukses memborong gelar di nomor pancalomba yang mencakup lari 100 meter, lompat jauh, lompat tinggi, lempar lembing, dan lempar cakram di PON IV.

Karnah jadi terkenal di Bandung. Ketika lulus tahun 1958, seorang pengusaha batik asal Bandung bernama Sukarna Saputra mengangkat Karnah sebagai anak asuh. Karnah kemudian diboyong ke Bandung untuk melanjutkan sekolah di SGPD (Sekolah Guru Pendidikan jasmani). Nama Karnah diganti mirip bapak asuhnya, Sukarnah.

Pergantian nama itu menandai babak baru kehidupannya. Setelah menjadi juara PON, Sukarnah diorbitkan ke ajang internasional. Dia mulai tergabung dalam program pemusatan latihan nasional (pelatnas) di Jakarta.

Johans Edward Willem (JEW) Gosal, pelari pria 100 m, adalah salah satu rekan pelatnas Sukarnah. Gosal saat ini masih aktif sebagai pengurus KONI Pusat. ’’Saya dulu berlatih di Lapangan Banteng, menginap di rumah Letkol Irwadi yang berada di depannya. Kini rumah tersebut menjadi Hotel Borobudur,” papar Iwan.

Bergabung pelatnas, kemampuan Sukarnah makin terasah. Dia berhasil membukukan rekor nasional lempar lembing baru sejauh 37,6 m. Atau, lebih baik dari rekor sebelumnya atas nama Ny. Saleh Harusman yang membukukan lemparan 31 m.

Sukarnah pun lolos seleksi untuk masuk tim Asian Games 1958. Dari sekitar 100 atlet yang dikirim, hanya dua dari cabang atletik. Sukarnah dan Kopral Marijo yang tampil di nomor lari 100 meter pria. Marijo hanya mampu menduduki peringkat kelima, sementara Sukarnah berhasil merebut medali perunggu.

’’Saya mendapat sambutan luar biasa ketika kembali ke tanah air. Disambut Pak Karno beserta menteri dan para tokoh seperti Pak Soebandrio dan Pak Nasution. Pak Karno menginstruksikan pada gubernur Jawa Barat untuk memberi saya rumah,” kenang Iwan.

Perunggu Asian Games IV ternyata menjadi puncak karir Sukarnah. Setelah itu dia sering sakit rematik. Dia lebih memfokuskan energinya untuk menyelesaikan sekolahnya di SGPD. Pada 1962 dia melanjutkan sekolahnya di Fakultas Sosial IKIP Bandung. Dia pun menikah dengan seorang pria Bandung bernama Karya Natasasmita.

Di IKIP, dia terpilih sebagai ketua bidang Hubungan Masyarakat (Humas) Dewan Mahasiswa (Dema). Sikapnya yang mengidolakan Soekarno mendorongnya menjadi orator yang cukup ulung. Karena itu, dia diposisikan sebagai Humas.

Saking cintanya pada Soekarno, Surkanah bergabung dalam barisan pendukung Soekarno. Aktivitas inilah yang kemudian membuat kehidupan Surkanah penuh nestapa.

Ketika Soekarno jatuh yang diikuti penumpasan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca G30 S/PKI, Surkanah ikut kena getahnya. Dia menjadi korban perubahan besar politik dan disebut-sebut antek PKI. ’’Semua penghargaan dan sertifikat saya ikut terbakar ketika rumah bapak saya di Bandung dibakar orang tahun 1966. Tak banyak yang saya bisa selamatkan,’’ tutur Iwan.

Hanya beberapa barang yang selamat. Antara lain lembing yang dipakainya di Tokyo, Jepang, pada 1958 dan dua foto Soekarno yang saat ini menempel di dinding rumahnya.

Sukarnah juga sempat dipenjara di Kebonwaru, Bandung, tahun 1965. Di sana ia memutuskan bercerai dengan Karya Natasasmita. ’’Saya tidak ingin dia terlibat. Dulu, yang berkuasa adalah telunjuk. Orang mudah menyebar fitnah sebagai anggota PKI. Karena itu, saya memilih cerai,” kisahnya.

Pada 1966 Surkanah kembali menghirup udara bebas. Dia menjalani hidup secara normal. Selain sempat menjadi guru di SMA Negeri 3 Bandung, ia sempat bekerja sebagai salah satu pengajar di Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Bandung.

Namun, gerakan Malari kembali menyeretnya ke balik terali besi. Ketika meletus peristiwa Malari 1974, dia kembali ditangkap. ’’Kami, pengikut Soekarno, banyak yang ikut protes. Saya pun akhirnya kembali dijebloskan ke tahanan sampai tahun 1978,” lanjutnya.

Selepas dari penjara, Sukarnah kembali menikah dengan pria asal Rengasdengklok, Ganda Atmadja. Namun, perkawinan itu hanya bertahan selama dua tahun. Kala Sukarnah berubah menjadi pria tahun 1980, Ganda pun menceraikan Iwan.

’’Peristiwa itu terjadi saat saya berziarah ke makam Bung Karno di Blitar pada 1979. Bersama rekan saya, Fatimah, saya bermalam di sana. Nah saya mimpi bertemu Bung Karno. Dia memberikan saya uang lima rupiah untuk beli obat,’’ paparnya.

Dalam mimpinya, ia akan ke apotek. Tapi, dia malah kesasar ke sebuah gunung. Di sana, ia kembali bertemu Soekarno. ’’Soekarno bersama seorang wanita yang katanya adalah calon istri saya sekarang ini,’’ tambahnya.

Setelah mimpi itu, Sukarnah mengaku mengalami perubahan pada fisiknya. Lambat laun, kedua payudaranya mengempis. Begitu juga dengan alat vitalnya, berubah bentuk seperti yang dimiliki laki-laki. ’’Ayah saya sempat nangis. Soalnya, sejak kecil saya adalah seorang wanita dengan nama Karnah,’’ tandasnya. Sejak saat itulah Sukarnah berubah nama menjadi Iwan Setiawan. Nama itu dia ambil dari salah satu guru favoritnya di SGPD.

Pada 1980, Iwan bertemu dengan Tuti Pudji Astuti, wanita yang ditemuinya saat bermimpi di makam Bung Karno. Wanita itu meminta izin bermalam di rumah Iwan. Setelah beberapa hari menginap, Tuti memberikan secarik kertas kepada Iwan yang berisi penyataan cintanya.

Menurut Tuti, dirinya bermimpi yang sama dengan Iwan. Ia bertemu Soekarno. ’’Bahkan, kakak saya juga bermimpi kalau saya akan menikah dengan bekas wanita,’’ tukas Tuti yang berusia sepuluh tahun lebih muda.

Setahun setelah pertemuan, Iwan dan Tuti menikah. Pasangan itu dikarunai seorang anak bernama Ebiet Hilman setelah enam tahun menikah. Setahun lalu, Ebiet Hilman menikah dengan Sri Esti.

Perjalanan Iwan memang sulit diterima logika. Namun, apa pun dia adalah salah satu atlet nasional yang terlupakan. Sudah sepantasnya dia mendapat penghormatan seperti rekan-rekannya yang sebagian besar kini mantap sebagai pejabat organisasi olahraga maupun pemerintahan.

’’Beliau (Iwan, Red) adalah korban politik. Kita tetap harus menghormatinya sebagai salah satu peletak dasar olahraga tanah air,’’ kata Adhyaksa Dault ketika memberikan rumah pada Iwan dalam bentuk uang tunai. (*)

2 komentar:

No longer valid mengatakan...

Duh hampura jisim kuring nya kang Iwan. Di blog URL http://dreesyach.blogspot.com/ bertajuk Pregnant man, saya salah menulis jumlah anak kang Iwan dipernikahan ceu Karnah dan kang Iwan. Saya pernah membaca tapi lupa sumber nya. Sekali lagi saya mohon maaf. Wassalam.

IRFAN mengatakan...

wow......tpi kurang jelas nih..
saya ga liat ada photo nya tuh..
coba kalo misalnya ada photonya jga..mungkin bisa lebih menarik...