Selasa, 27 November 2007

Pandan Wangi Palsu dari Cianjur Beredar di Jabotabek

AROMA harum dari beras pandanwangi membangkitkan selera makan bagi siapa saja yang menciumnya. Namun, saat mulai ditanak, lambat laun aroma wangi itu pudar. Ketika beras selesai dimasak, keharumannya nyaris tak tersisa. Bayangan akan menikmati nasi yang pulen pun langsung sirna saat kita menyantap nasi tersebut. Rasa nasi itu serupa nasi dari beras jenis lain.

PENGALAMAN menikmati beras Pandanwangi yang tidak wangi itu dikeluhkan oleh sebagian konsumen beras tersebut. Cita rasa beras pandanwangi yang terkenal pulen dan tidak cepat basi juga berkurang, sehingga banyak konsumen mulai beralih mengkonsumsi beras jenis lain. Apalagi kini konsumen dihadapkan pada banyak pilihan beras dengan harga dan mutu beragam seiring dengan membanjirnya beras impor.

Hal itu mengakibatkan anjloknya permintaan beras pandanwangi di pasaran sebagaimana dialami Perusahaan Penggilingan Padi Joglo yang berlokasi di Kecamatan Cilaku, Cianjur, Jawa Barat.

Jika semula perusahaan tersebut mengkhususkan diri pada beras pandanwangi, sejak lima tahun terakhir perusahaan itu juga memproduksi beras jenis lain. Setiap bulan, beras yang dihasilkan mencapai 100 ton beras dan dilempar ke pasaran di daerah Jakarta dan sekitarnya. “Kami hanya memproduksi sesuai permintaan pasar,” kata Adep Zaenal (30), pengelola PB Joglo.

Merosotnya pamor beras pandanwangi di tengah persaingan pasar dipicu oleh berkurangnya keaslian beras lokal tersebut. Menurut Hasbulloh (53), petani di Desa Jambu Dipa, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, kini padi varietas pandanwangi banyak yang dikawinkan dengan varietas padi lokal lainnya.

“Kalau ada yang tanam padi pandanwangi dan padi jenis lain pada satu petak sawah, maka akan terjadi perkawinan padi,” ujarnya. Hasbulloh yang telah bercocok tanam sejak tahun 1970-an menuturkan, beras pandanwangi pada zaman dulu dengan sekarang sudah jauh berubah. “Kalau dulu bijinya gede, sekarang agak kecil. Dulu potongan biji pandanwangi satu irama semua, rata, kalau ada telur-telur di tengah biji beras, rata semua. Sekarang kan aneka ragam, kayak cisadane, kayak padi bulu. Memang asli pandanwangi, tapi karena sering kawin jadi jelek hasilnya,” tuturnya.

Hal ini mengakibatkan berkurangnya kualitas beras pandanwangi. Saat beras pandanwangi belum kawin dengan padi yang lain, aroma wangi beras masih terasa kendati telah dicampur dengan beras lainnya.

Selain itu, produksi beras pandanwangi jadi jauh berkurang. Jika dulu produksi beras tersebut mencapai sembilan ton per hektar, sekarang tinggal lima ton per hektar.

“Perubahan cara tanam juga mengakibatkan menurunnya produksi. Dulu jarak tanam pandanwangi 30 sentimeter kali 30 sentimeter sehingga tangkai padinya panjang. Dulu saya pernah hitung ada 367 butir per tangkai padi, sekarang hanya 250 butir per tangkai,” kata Hasbulloh.

MEROSOTNYA pamor peras pandanwangi juga merupakan akibat maraknya pencampuran beras pandanwangi dengan jenis beras lain di pasaran. Hal tersebut mengakibatkan anjloknya harga beras tersebut di pasaran dan menurunnya kepercayaan konsumen terhadap keaslian beras varietas lokal yang sempat jaya di era 1980-an.

Beras campuran itu dapat dijumpai di supermarket dan toko-toko beras dengan harga berkisar Rp 3.400 per kilogram (kg) hingga Rp 4.000 per kg, padahal standar harga beras pandanwangi di tingkat konsumen Rp 6.000 per kg.

Menurut Affandi (43), pedagang grosir beras pandanwangi di Desa Cisarandi, Cianjur, berkurangnya kepercayaan terhadap pandanwangi disebabkan ulah pedagang yang mencampur beras pandanwangi dengan beras lain seperti beras ciherang dan beras cisadane.

“Sekarang banyak permintaan beras pandanwangi dengan harga murah. Mungkin karena daya beli masyarakat juga makin turun. Jadi, kami terpaksa mencampur pandanwangi dengan jenis beras lokal lainnya agar harganya jadi lebih murah,” kata Affandi. Sehari-hari, ia biasa memasok pandanwangi campuran itu ke daerah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek).

Jatuhnya pamor beras pandanwangi di mata konsumen juga dipicu oleh ulah para tengkulak dan pedagang beras yang nakal. Adep Zaenal Abidin (30), pegawai bagian pengendali mutu beras di tempat penggilingan padi Joglo, Kabupaten Cianjur, menuturkan, saat ini banyak pengelola tempat penggilingan padi maupun tengkulak beras yang menyemprot beras jenis lain seperti beras gogo dan beras IR dengan pewangi aroma pandan. “Memang waktu dijual berasnya wangi, tapi beras itu tidak lagi harum setelah dimasak,” ujarnya.

Hal serupa juga diungkapkan Hasbulloh. Menurut dia, banyak beras jenis lain yang disemprot air pandan yang harganya Rp 70.000 per liter agar beras tersebut cepat laku.

“Jadi, kalau kirim satu truk beras yang disemprot itu, harumnya tercium sepanjang jalan, tapi baunya akan hilang kalau sudah dimasak dan rasanya juga berbeda dengan beras pandanwangi,” tuturnya.

UNTUK mengatasi merosotnya pamor pandanwangi tersebut, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cianjur memurnikan kembali varietas padi pandanwangi dan telah memperoleh pengakuan di tingkat nasional. Pemerintah setempat juga sedang mengajukan hak paten varietas tersebut dengan tujuan melindungi para petani setempat dari penggunaan label pandanwangi untuk beras jenis lain.

Berdasarkan data Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Barat (Jabar), saat ini penyebaran padi pandanwangi di wilayah Jabar telah mencapai 13.220 hektar. Rinciannya, sebanyak 5.965 hektar sawah di Cianjur, 6.930 hektar di wilayah Sukabumi, dan 325 hektar di daerah Garut.

Namun, Kepala Seksi Perbenihan Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur Yayat Supriatna mengungkapkan, varietas asli padi pandanwangi hanya bisa tumbuh dengan rasa dan kualitas asli pandanwangi di sejumlah kecamatan di wilayah Cianjur. Sentra produksi padi pandanwangi tersebut tersebar di Kecamatan Warungkondang, Cibeber, Cilaku, Cianjur, dan Cugenang.

“Kalau ada daerah lain yang menanam benih varietas padi pandanwangi, maka rasa dan kualitasnya akan berbeda,” kata Yayat. Hal itu disebabkan struktur tanah dan sumber air yang mengairi tanaman padi itu hanya ada di beberapa kecamatan tersebut. Padi pandanwangi yang asli hanya bisa tumbuh dengan mutu bagus jika diairi mata air Gunung Gede.

Selama ini nama pandanwangi merupakan nama jaminan kualitas beras yang merupakan kelas eksklusif dengan harga jual tinggi dan tergolong varietas unggul tahan harga (VUTH). “Karena memiliki nilai jual tinggi itulah di pasar banyak dijumpai beras yang diberi nama pandanwangi, hanya karena beraroma pandan walaupun bukan beras pandanwangi atau tidak murni pandanwangi,” keluh Yayat.

Untuk itu, pemerintah setempat berusaha agar varietas lokal padi pandanwangi sebagai varietas spesifik Kabupaten Cianjur diakui secara nasional. Caranya, dinas pertanian setempat telah meneliti padi sawah varietas pandanwangi dalam rangka pemurnian dan standarisasi padi itu bekerja sama dengan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Barat. Usulan pemutihan varietas ini telah disampaikan pada tahun 1990.

Akhirnya, pada tahun ini rekomendasi hasil sidang Tim Penilai dan Pelepas Varietas Tanaman Pangan telah diterima Pemkab Cianjur. Pemutihan kembali varietas lokal pandanwangi diharapkan dapat dijadikan standar dan dasar upaya pelestarian varietas.

Setelah memperoleh pengakuan secara nasional, pemerintah setempat akan mengajukan hak paten atas padi sawah varietas pandanwangi. Jika para produsen padi akan menggunakan label pandanwangi, maka mereka harus membayar royalti kepada Pemkab Cianjur. (EVY RACHMAWATI)

Sumber: kompas.com

Tidak ada komentar: